Berita Jurnalkitaplus – Gaji dosen perguruan tinggi negeri (PTN) di Indonesia kembali menjadi sorotan. Tim Jurnalisme Data Harian Kompas menemukan bahwa rata-rata gaji pokok dosen di Indonesia hanya 1,3 kali dari Upah Minimum Provinsi (UMP). Jika dikonversi ke dalam daya beli, angka itu setara dengan… 143 kilogram beras per bulan. Ironisnya, gaji dosen di Kamboja bisa membeli 3.253 kilogram beras—lebih dari 22 kali lipat!
Perbandingan ini dilakukan terhadap 36 dosen PTN di Indonesia yang disurvei sepanjang April 2025. Hasilnya, Indonesia berada di posisi buncit dibandingkan negara-negara Asia Tenggara lainnya. Thailand mencatat rasio gaji dosen terhadap UMP sebesar 4,1 kali, Vietnam 3,42 kali, Malaysia 3,41 kali, bahkan Singapura 1,48 kali—semua masih lebih tinggi dari Indonesia.
Gaji Tak Seimbang dengan Kebutuhan Hidup
Gaji pokok dosen Indonesia diatur dalam PP Nomor 5 Tahun 2024 dan hanya diperbarui setiap lima tahun. Ini sangat kontras dengan UMP yang diperbarui setiap tahun. Dosen muda, terutama yang belum punya jabatan fungsional, paling terdampak. Mereka hanya menerima 80% dari gaji pokok golongan IIIb, sekitar Rp 2,9 juta.
“Bisa dibayangkan, siapa yang bisa bertahan lima tahun dengan gaji segitu, apalagi kalau sudah berkeluarga,” ujar Nabiyla Risfa, dosen Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada seperti dikutip di harian Kompas.
Belum Ada Standar Gaji Ideal
Menurut Koordinator Nasional Aliansi ASN Kemendikbudristek (Adaksi), Anggun Gunawan, persoalan gaji dosen sangat bergantung pada masa kerja dan status kampus. Beberapa PTN Badan Hukum (PTN BH) memang memberi gaji yang lebih tinggi, bisa sampai tiga kali UMP. Namun, mayoritas dosen—terutama yang baru lima tahun bekerja—masih kesulitan bertahan hidup.
“Kalau hanya andalkan gaji pokok, tetap nombok. Kita dorong agar ada regulasi yang tetapkan standar minimum, idealnya tiga kali UMP,” kata Anggun.
Cermin Buram Kesejahteraan Akademisi
Laporan ini menjadi cermin betapa kesejahteraan dosen di Indonesia belum menjadi prioritas, padahal mereka adalah ujung tombak dunia pendidikan tinggi. “Artinya ada yang salah dengan kita,” kata Nabiyla, lugas.
Pertanyaannya sekarang: kalau dosen aja masih berjuang untuk hidup layak, siapa yang masih mau jadi dosen di masa depan?