Berita Jurnalkitaplus – Belakangan ini, kampus top dunia, Harvard University, lagi diterpa isu panas yang bikin banyak pihak dag-dig-dug. Sumber utamanya? Konflik sengit antara pihak universitas dan pemerintahan Amerika Serikat di bawah kepemimpinan Donald Trump. Nah, salah satu masalah terbesar yang bikin heboh adalah larangan penerimaan mahasiswa asing yang resmi dicabut izinnya oleh Departemen Keamanan Dalam Negeri AS (DHS). Alasannya pemerintah? Harvard dituding jadi “sarang agitasi anti-Amerika, anti-Semit, dan pro-teroris”. Selain itu, Harvard juga dianggap enggak kooperatif dalam menyerahkan data mahasiswa asing dan kurang serius mengatasi isu antisemitisme di kampus. Praktik “keragaman, kesetaraan, dan inklusi” (DEI) Harvard pun ikut dikritik dan dianggap rasis oleh pemerintahan Trump.
Dampak dari larangan ini langsung terasa, terutama bagi ribuan mahasiswa asing yang lagi studi di Harvard. Mereka jadi panik karena status hukum di AS terancam, bahkan ada kemungkinan harus pindah universitas atau enggak bisa datang sama sekali bagi yang baru diterima. Di kutip dari harian Kompas, mahasiswa dari Indonesia pun ikut merasakan ketidakpastian ini. Salah satunya Maria Cellina Wijaya, lulusan Harvard, yang menceritakan kalau teman-temannya di Boston memilih menunggu kejelasan sikap Harvard yang diminta menyerahkan data mahasiswa asing dalam 72 jam. Cellina sendiri memutuskan untuk pulang ke Indonesia lebih awal karena melihat situasi yang kurang mendukung, bahkan ia sempat melihat petugas imigrasi sering mencari-cari mahasiswa internasional di kampus-kampus dan menanyakan visa belajar mereka.
Tak hanya soal mahasiswa, urusan duit pun ikut jadi masalah. Pemerintahan Trump juga membekukan atau mencabut miliaran dolar dana hibah federal untuk Harvard. Kenapa? Lagi-lagi karena Harvard dianggap enggak patuh sama pemerintah, terutama terkait isu antisemitisme dan protes pro-Palestina yang sempat ramai. Harvard sendiri merasa kalau pemotongan dana ini merugikan misi akademik dan penelitian mereka, bahkan bisa melemahkan kekuatan akademis institusi dan Amerika secara keseluruhan. Memang, seperti kampus lain di AS, Harvard juga menghadapi kritik tajam soal penanganan protes dan perkemahan pro-Palestina setelah perang Israel-Hamas pecah. Ada yang ngeluh soal antisemitisme di kampus, sementara yang lain merasa kebebasan berekspresi mereka dibatasi. Harvard pun membentuk Gugus Tugas Kepresidenan untuk Melawan Antisemitisme dan Bias Anti-Israel untuk mengatasi masalah ini.
Kebijakan pemerintah Trump yang keras berdampak langsung pada mahasiswa, terutama yang internasional, masalah pendanaan, bahkan sampai ke iklim kebebasan akademik di kampus [10]. Survei di Harvard sendiri menunjukkan kalau banyak mahasiswa yang merasa enggak nyaman berbagi opini kontroversial di kelas, menandakan adanya kekhawatiran soal “cancel culture” dan tekanan untuk ikut pandangan tertentu. Semua ini dikhawatirkan bisa menghambat keberagaman pandangan dan merusak ekosistem akademik Harvard yang sudah terbangun puluhan tahun. (FG12)