Berita Jurnalkitaplus – Perdana Menteri Jepang, Shigeru Ishiba, mengeluarkan peringatan serius terkait memburuknya kondisi fiskal Jepang, yang diklaim bahkan lebih parah dibandingkan krisis Yunani. Peringatan ini memicu kekhawatiran global, termasuk dari para pengamat ekonomi dan investasi di Indonesia.
Direktur Eksekutif CORE Indonesia, Mohammad Faisal, mengungkapkan bahwa perlambatan ekonomi Jepang bukanlah hal baru. Sejak pecahnya gelembung aset pada awal 1990-an, ekonomi Negeri Sakura nyaris tidak pernah tumbuh lebih dari dua persen per tahun, ditandai dengan inflasi rendah hingga negatif.
Meski berbagai kebijakan seperti suku bunga nol persen dan pelonggaran kuantitatif telah diterapkan, hasilnya belum memuaskan. Abenomics yang diluncurkan oleh mantan PM Shinzo Abe pada 2012 pun belum mampu sepenuhnya mengatasi stagnasi ekonomi, terutama pada aspek reformasi struktural yang berjalan lambat.
Tambahan tekanan datang dari kebijakan tarif tinggi Presiden AS Donald Trump. Tarif balasan hingga 25 persen terhadap produk Jepang, khususnya otomotif, membuat ekspor Jepang tertekan dan memperdalam kontraksi ekonomi yang terjadi pada kuartal I-2025, dengan PDB menyusut 0,7 persen secara tahunan.
Situasi domestik Jepang pun tidak kalah pelik. Harga beras melonjak akibat gagal panen, masyarakat menolak beras impor, dan rasio utang publik Jepang telah menyentuh 256 persen dari PDB – tertinggi di antara negara maju.
Namun, kondisi ini juga membuka peluang bagi negara seperti Indonesia. Faisal menyebut banyak perusahaan Jepang kini mencari lokasi investasi yang lebih menguntungkan, termasuk kawasan Asia Tenggara. Jika iklim investasi Indonesia bisa ditingkatkan, peluang untuk menarik relokasi industri dari Jepang terbuka lebar.
“Penurunan daya saing Jepang dan depresiasi yen bisa menjadi momentum Indonesia untuk menjadi alternatif basis produksi baru,” ujar pengamat hubungan internasional dan investasi asing, Zenzia Sianica Ihza.
Walau Jepang kini turun peringkat ke posisi lima besar investor Indonesia, potensi peningkatan investasi tetap terbuka – dengan catatan Indonesia mampu menciptakan iklim bisnis yang stabil, transparan, dan kompetitif. (FG12)