Mengungkap Jejak Sabung Ayam di Indonesia : Dari Tradisi Kerajaan, Ritual, Seni, hingga Perjudian yang Sulit Diberantas

Berita Jurnalkitaplus – Sabung ayam, aktivitas mengadu dua ekor ayam jantan di dalam sebuah arena, telah lama mengakar dalam sejarah dan budaya di berbagai daerah di Indonesia. Namun, praktik yang kini identik dengan perjudian ilegal ini terus menjadi perhatian aparat penegak hukum. Serangkaian penggerebekan di berbagai lokasi, seperti yang baru-baru ini terjadi di Malang, Mojokerto, Jember, dan Madura, menunjukkan betapa marak dan sulitnya memberantas aktivitas ini.

Sejarah Panjang Sejak Era Kerajaan

Jejak sabung ayam bukanlah fenomena baru. Sumber-sumber sejarah menunjukkan bahwa perjudian ini sudah ada sejak zaman kerajaan di Nusantara. Pada masa itu, sabung ayam memiliki peran yang beragam, mulai dari ritual kerajaan, rekreasi, hingga seni. Keberadaannya tercatat dalam relief candi-candi peninggalan masa lalu, sastra tulis kuno, dan cerita lisan yang ada berabad-abad lalu.

Budayawan Malang, M Dwi Cahyono, menjelaskan istilah yang digunakan untuk sabung ayam. Dalam bahasa Jawa baru, dikenal sebagai adu jago, sementara dalam bahasa Jawa kuno disebut angadwa sawung. Angadwa berarti ‘mengadu’, sedangkan sawung adalah ‘ayam jantan’.

Menurut Dwi Cahyono, sumber sastra tekstual lama, seperti kitab Pararaton, bahkan menyebut soal adu ayam yang dilakukan di lingkungan keraton. Contohnya, pada era Tohjaya (abad ke-13) di Kerajaan Kadiri, ia tercatat terlibat dalam kegiatan adu ayam menghadapi dua keponakannya. Hal ini mengindikasikan bahwa tradisi sabung ayam dilakukan pula oleh kaum elite pada masa itu. Menariknya, pada era tersebut, ketika adu ayam masuk ranah perjudian, aktivitas ini terbilang legal karena ada pengenaan pajak oleh negara.

Transformasi Menjadi Judi dan Berbagai Konteks Lain

Seiring waktu, orientasi sabung ayam mengalami pergeseran. Kriminolog Universitas Brawijaya, Prija Djatmika, menyebutkan bahwa awalnya sabung ayam adalah hobi. Orang-orang yang menganggur dan memiliki ayam kemudian mengadu ayamnya. Lama-kelamaan, aktivitas ini dikomersialkan dan dipakai untuk judi. Menurut Prija, kini orientasinya bukan lagi senang-senang semata, melainkan instrumen untuk perjudian.

Dwi Cahyono mengidentifikasi setidaknya lima konteks terkait sabung ayam:

  1. Ajang perjudian yang tak terelakkan.
  2. Konteks rekreatif, di mana adu ayam dianggap menyenangkan bahkan tanpa mengeluarkan uang.
  3. Konteks religi, di mana keluarnya darah dapat masuk pada konteks ritual.
  4. Ranah artistik, karena ayam jantan dianggap memiliki perawakan gagah, menjadikannya inspirasi bagi seniman.
  5. Konteks ekonomi.

Saat ini, aktivitas sabung ayam yang terkait dengan perjudian sering dilakukan secara sembunyi-sembunyi guna menghindari patroli aparat.

Penegakan Hukum dan Tantangan Pemberantasan

Meskipun sejarahnya panjang, sabung ayam dalam konteks perjudian modern adalah ilegal. Kepolisian terus berupaya memberantasnya, seperti yang dilakukan Polres Malang yang baru-baru ini menggerebek arena di Kabupaten Malang, menyita puluhan sepeda motor dan ayam, meski pelaku kerap kabur saat penggerebekan. Peristiwa serupa juga terjadi di Mojokerto, Jember, dan Madura.

Tantangan pemberantasan sabung ayam tidaklah kecil. Tragedi yang menewaskan tiga aparat kepolisian saat menggerebek judi sabung ayam di Way Kanan, Lampung, pada Maret 2025 lalu menjadi bukti risiko yang dihadapi dalam penindakan aktivitas ini.

Menurut Kriminolog Prija Djatmika, salah satu alasan mengapa perjudian jenis ini marak dan sulit dihilangkan diduga karena sanksi hukum selama ini kurang berat. Ia menyebut belum pernah ada putusan pengadilan terhadap pelaku judi ayam yang maksimal. Selain itu, adanya pihak atau oknum-oknum tertentu yang menjadi beking dan jarang dipidana juga disinyalir menjadi faktor sulitnya pemberantasan. Prija menegaskan bahwa dalam konteks pidana, semua pihak yang terlibat—mulai dari penyedia fasilitas, pelaku judi, hingga bandar—serta oknum yang membekingi, semestinya ditindak tegas untuk menuntaskan masalah ini.

Sabung ayam secara hukum di Indonesia tergolong sebagai bentuk perjudian dan dilarang keras oleh peraturan perundang-undangan. Berdasarkan Pasal 303 Ayat (1) KUHP, pelaku perjudian, termasuk sabung ayam, dapat dikenai hukuman penjara hingga 10 tahun atau denda maksimal Rp25 juta. Larangan ini dipertegas kembali dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1974 tentang Penertiban Perjudian, yang memberi kewenangan kepada pemerintah untuk menindak dan menertibkan segala bentuk aktivitas perjudian.

Lebih lanjut, KUHP baru yang tertuang dalam UU No. 1 Tahun 2023 dan akan berlaku mulai tahun 2026, mengatur secara lebih rinci mengenai aktivitas perjudian. Dalam Pasal 426 disebutkan bahwa siapa pun yang menyediakan tempat, fasilitas, atau ikut serta dalam perjudian, termasuk sabung ayam, dapat dijatuhi pidana penjara hingga 5 tahun atau dikenai denda maksimal kategori V, yaitu sebesar Rp500 juta. Aturan ini menunjukkan bahwa pemerintah terus memperketat pengawasan terhadap praktik perjudian guna menjaga ketertiban dan moral masyarakat.

Mengapa Sulit Diberantas?

Sifat sabung ayam yang sering kali tersembunyi dan sejarahnya yang sangat panjang memang menjadi alasan utama mengapa pemberantasannya tidak mudah. Selain itu, berbagai konteks yang melekat padanya, dari aspek rekreatif yang membuatnya tetap digemari, dimensi kultural yang pernah ada (ritual, seni), hingga aspek ekonomi (terutama sebagai instrumen perjudian di kalangan tertentu) membuatnya mengakar di masyarakat. Dugaan adanya beking juga menambah kompleksitas dalam upaya penegakan hukum.

Judi sabung ayam memang memiliki sejarah panjang, karenanya pemberantasannya tak mudah. Namun, bukan berarti tidak mungkin. Penerapan hukuman yang lebih berat dinilai dapat diterapkan agar para pelaku jera. (FG12)

Referensi :
Sabung ayam Antara Mitos dan Sejarah
Sejarah Panjang Sabung Ayam di Indonesia, antara Ritual Adat dan Kekuasaan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *