Berita Jurnalkitaplus – Kebijakan terbaru pemerintah yang memangkas ukuran rumah subsidi menjadi hanya 18 meter persegi untuk bangunan di atas tanah seluas 25 meter persegi, memicu gelombang kritik terutama dari kalangan generasi Z. Laman Kompas.id mengabarkan sindiran genZ atas rumah subsidi yang kini dianggap terlalu kecil dan tidak layak huni dengan julukan “Subsi-DIE” — sindiran tajam yang menggambarkan rumah subsidi seperti kamar kos sempit.
Ukuran Rumah Subsidi Dipangkas, Apa Alasannya?
Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) menjelaskan bahwa kebijakan ini bertujuan memberikan fleksibilitas harga dan pilihan bagi masyarakat berpenghasilan rendah agar lebih mudah memiliki rumah. Dengan ukuran yang lebih kecil, harga rumah subsidi diharapkan bisa ditekan agar lebih terjangkau.
Namun, anggota DPR dan Satgas Perumahan menyoroti bahwa ukuran rumah subsidi tidak boleh mengorbankan kenyamanan dan kualitas hidup penghuninya. Mereka menegaskan bahwa rumah subsidi harus tetap memenuhi standar kelayakan agar tidak menimbulkan persoalan sosial dan psikologis di kemudian hari.
Sindiran Gen Z: “Subsi-DIE”
Di media sosial, generasi Z yang umumnya berpenghasilan di bawah Rp 5 juta per bulan menyuarakan kekecewaan mereka. Banyak yang merasa rumah subsidi dengan ukuran 18 meter persegi terlalu kecil dan tidak layak untuk keluarga. Mereka lebih memilih menyewa rumah yang lebih nyaman daripada membeli rumah subsidi yang dianggap “kurang manusiawi.”Istilah “Subsi-DIE” pun viral sebagai bentuk protes terhadap kebijakan ini. Sindiran tersebut mengandung pesan bahwa rumah subsidi saat ini seperti “mati” dari segi kualitas dan kenyamanan, sehingga tidak layak disebut rumah.
Tantangan dan Harapan ke Depan
Meski kebijakan ini dimaksudkan untuk membantu masyarakat berpenghasilan rendah, pemerintah diharapkan dapat mempertimbangkan kembali ukuran dan kualitas rumah subsidi agar tetap layak huni. Selain itu, perlu ada inovasi desain rumah yang efisien namun tetap nyaman, sehingga generasi muda dan keluarga kecil dapat memiliki hunian yang layak tanpa harus mengorbankan kualitas hidup. (FG12)
Emang ga kepikiran atau emang gaada wacana bangun rusun/kompartemen ya daripada rumah yang makan tempat dan mangkas lahan alam. When yah permukiman Indonesia semodern dan seefektif Singapura atau Chongqing