Berita Jurnalkitaplus – Gelombang penolakan terhadap Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) makin deras. Sebuah petisi daring berjudul “Tolak Revisi KUHAP Abal-abal” diluncurkan oleh Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaruan KUHAP di laman change.org. Hingga Minggu (13/7/2025) siang, petisi tersebut telah didukung lebih dari 3.285 tanda tangan.
Koalisi menilai proses penyusunan RKUHAP oleh pemerintah dan DPR penuh kejanggalan, manipulatif, dan minim partisipasi publik yang bermakna. Substansi pasal-pasal yang diajukan pun dinilai justru melemahkan hak tersangka dan terdakwa, serta memperkuat impunitas aparat penegak hukum.
“Masalah seperti salah tangkap, penyiksaan, kriminalisasi, hingga laporan mandek masih belum dijawab RKUHAP. Justru potensi penyalahgunaan wewenang makin besar,” demikian bunyi petisi tersebut.
Koalisi: DPR dan Pemerintah Hanya Formalitas
Koalisi membantah klaim Komisi III DPR yang menyebut mereka telah dilibatkan dalam 50 kali Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU). Menurut Koalisi, mereka hanya hadir satu kali undangan resmi dari pemerintah pada 27 Mei 2025, itu pun tanpa tindak lanjut yang jelas.
“Klaim partisipasi publik hanyalah formalitas. Padahal, revisi KUHAP menyangkut hajat hidup orang banyak dan wajah sistem peradilan kita ke depan,” ujar Muhammad Isnur, Koordinator Koalisi Masyarakat Sipil.
Isnur menegaskan, revisi KUHAP masih bisa dibahas ulang secara komprehensif karena masa sidang DPR masih cukup panjang. Ia menuntut proses legislasi dihentikan sementara dan dibuka kembali dengan partisipasi publik yang nyata.
1.676 DIM Dibahas Kilat, Akademisi: “Aneh dan Ajaib!”
Sorotan juga datang dari kalangan akademisi. Guru Besar Hukum Pidana Universitas Jenderal Soedirman, Hibnu Nugroho, mengkritisi cara DPR membabat habis 1.676 daftar inventarisasi masalah (DIM) hanya dalam dua hari pembahasan bersama pemerintah, yakni pada 9-10 Juli 2025.
“Pembahasan seperti ini tidak substansial. Revisi KUHAP ini harus menyentuh hal yang hakiki dalam hukum acara modern. Jangan terburu-buru, masih ada waktu,” kata Hibnu.
Ia juga menekankan bahwa penyusunan KUHAP tidak boleh hanya mengandalkan kecepatan, tetapi perlu kedalaman dan keterlibatan publik, agar revisi benar-benar menjawab tantangan hukum acara pidana masa kini.
Minim Dinamika, DPR Dinilai “Asal Ikut”
Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia, Lucius Karus, menyayangkan lemahnya dinamika dalam pembahasan RKUHAP. Menurutnya, DPR sebagai lembaga legislatif terlihat pasif dan tidak menjalankan fungsi kontrol dengan maksimal.
“Bayangkan, 1.676 DIM selesai dalam waktu yang bahkan kurang dari 24 jam jika dihitung jam kerja. Rasanya aneh. Kalau semua disetujui begitu saja, lalu apa gunanya DPR? Ini bukan sekadar target waktu, tapi soal kualitas legislasi,” ujar Lucius.
Tuntutan: Ulang Proses dari Awal
Koalisi Masyarakat Sipil mendesak pemerintah dan DPR untuk menghentikan seluruh proses pembahasan RKUHAP saat ini, lalu memulai kembali dengan prinsip transparansi, partisipasi bermakna, dan keterbukaan terhadap kritik.
Revisi KUHAP dinilai terlalu krusial untuk dikerjakan secara tergesa. Mengingat KUHP baru akan berlaku pada awal tahun depan, masyarakat sipil menilai masih ada cukup waktu untuk memperbaiki arah revisi KUHAP agar benar-benar berpihak pada keadilan. (FG12)