Kenaikan Dana Bantuan Parpol di Daerah Menggila, Tapi Akuntabilitas Masih Jadi Tantangan

Berita JURNALKITAPLUS – Wacana kenaikan bantuan keuangan partai politik (parpol) di tingkat pusat tengah menjadi perdebatan tajam. Sementara pemerintah daerah sudah berani menaikkan besaran dana bagi partai secara signifikan, persoalan akuntabilitas dan transparansi pelaporan keuangan parpol masih menjadi pekerjaan rumah besar.

Dikutip dari harian Kompas, di Kota Semarang, misalnya, dana bantuan naik dari Rp 3.000 menjadi Rp 5.000 per suara sah, sehingga total alokasi mencapai sekitar Rp 4,5 miliar atau 0,08 persen dari APBD 2025. Di Sleman, bantuan juga dinaikkan dari Rp 3.500 menjadi Rp 4.900, dengan tren serupa terlihat di Sumatera Utara dan Kolaka yang sudah menaikkan dana bantuan parpol beberapa tahun lalu.

Bahkan di Kalimantan Utara, nilai bantuan per suara mencapai Rp 60.000 di Kabupaten Tana Tidung, angka yang jauh di atas besaran bantuan di tingkat pusat yang masih Rp 1.000 per suara sah sejak 2018, dan baru diusulkan naik menjadi Rp 3.000 pada 2026.

Kenaikan bantuan ini dilakukan dengan harapan meningkatkan kemandirian partai politik serta mengurangi ketergantungan parpol pada dana swasta, yang berpotensi mendorong praktik korupsi. Kajian KPK juga menyarankan alokasi dana lebih besar agar parpol fokus pada pendidikan politik masyarakat.

Namun, hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menunjukkan masih banyak ketidakpatuhan dalam laporan pertanggungjawaban penggunaan dana bantuan parpol di daerah, terutama terkait kesesuaian penggunaan dana dengan tugas parpol dan pengelolaan administrasi sekretariat. Meskipun tren pelanggaran ini menurun, temuan tersebut menimbulkan perhatian serius soal pengawasan dana publik ini.

Para pakar menekankan pentingnya reformasi tata kelola bantuan keuangan partai dengan penekanan pada transparansi dan akuntabilitas. The Indonesian Institute Center for Public Policy Research dan Perludem menyuarakan kebutuhan sistem yang memastikan dana benar-benar dipergunakan untuk pendidikan politik, bukan sekadar kegiatan internal parpol atau kepentingan politik pemda. Reformasi ini juga ditujukan untuk menepis kecurigaan bahwa kenaikan dana bantuan di daerah berpotensi disalahgunakan untuk kepentingan politik elit lokal.

Di tingkat pusat, wacana kenaikan dana bantuan dari Rp 1.000 menjadi sekitar Rp 3.000 hingga Rp 8.500 per suara disertai catatan ketat dari berbagai pihak agar kebijakan ini jangan justru membuka peluang korupsi baru tanpa penguatan pengawasan. Beberapa pihak menilai penambahan dana harus dibarengi dengan reformasi dan mekanisme audit yang ketat agar tidak menjadi beban negara dan tetap mendorong demokrasi yang sehat.

Sementara itu, sebagian partai menolak kenaikan yang signifikan tanpa mempertimbangkan kondisi fiskal negara dan risiko ketidakefisienan anggaran pemerintah, yang juga harus memperhatikan sektor pendidikan dan kesehatan. Mereka menilai dana parpol harus dikelola dengan efisien dan tidak menimbulkan preseden negatif di mata publik.

Secara keseluruhan, wacana kenaikan dana bantuan parpol baik di pusat maupun daerah membuka kebutuhan mendesak akan tata kelola yang lebih baik, transparan, dan akuntabel agar dana publik yang dialokasikan untuk parpol benar-benar efektif dalam memperkuat fungsi demokrasi dan pendidikan politik. (FG12)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *