Berita Jurnalkitaplus – Aplikasi Tea Dating Advice, yang selama ini dikenal sebagai ruang aman bagi perempuan dalam dunia kencan daring, justru jadi sasaran peretasan besar-besaran. Sebanyak 72.000 foto pengguna bocor ke publik, memicu kekhawatiran tentang keamanan digital dan potensi kekerasan terhadap perempuan.
Aplikasi Tea, berbasis di Amerika Serikat dan memiliki sekitar 4 juta pengguna, dirancang agar perempuan bisa saling berbagi informasi soal laki-laki yang mereka kencani—secara anonim. Mulai dari memverifikasi foto, memberi peringatan soal perilaku bermasalah, hingga menghindari penipuan dan kekerasan. Namun, niat baik itu seolah berbalik arah.
Setelah kasus peretasan ini, ancaman terhadap pengguna Tea meningkat. Banyak perempuan merasa rentan terhadap penguntitan, pelecehan, bahkan kekerasan fisik. Aplikasi yang semula dianggap solusi, kini justru berubah jadi sumber masalah.Fenomena ini bukan kasus tunggal. Di China, ribuan foto intim perempuan tersebar di Telegram tanpa izin. Bahkan di Korea Selatan, kasus mengerikan seperti “Nth Room” memperlihatkan bagaimana teknologi dimanfaatkan untuk memperdagangkan konten seksual secara paksa. Semua ini menunjukkan pola global: kekerasan berbasis gender kini dimediasi oleh teknologi.
Menurut data Institut Kesetaraan Jender Eropa, kekerasan digital terhadap perempuan—atau cyber violence against women and girls (CVAWG)—mencakup pelecehan daring, penguntitan digital, penyebaran gambar intim tanpa persetujuan, hingga ujaran kebencian berbasis gender. Teknologi jadi pisau bermata dua: bisa melindungi, tapi juga bisa melukai.Fakta lainnya, kekerasan di dunia digital dan nyata ternyata saling berkait. Korban cyberstalking kerap menjadi korban kekerasan fisik maupun seksual. Sayangnya, banyak yang enggan melapor karena takut tak dipercaya atau sistem hukum yang tidak berpihak.Pihak Tea mengklaim telah memperkuat sistem keamanan mereka. Namun, insiden ini menegaskan bahwa keamanan digital tak bisa berdiri sendiri. Tanpa pendekatan menyeluruh dan sensitif terhadap isu gender, teknologi bisa jadi bumerang. Alih-alih jadi tempat perlindungan, aplikasi seperti Tea bisa berubah jadi ruang gosip dan eksploitasi.
Dalam dunia digital yang semakin kompleks, satu hal menjadi jelas: internet, media sosial, bahkan teknologi AI bukanlah ruang netral. Selama ketimpangan gender masih ada, maka perlindungan menyeluruh bagi perempuan di ruang digital menjadi kebutuhan mendesak, bukan sekadar fitur tambahan. (FG12)