Berita Jurnalkitaplus – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengambil langkah proaktif untuk mengantisipasi ancaman terhadap kewenangannya dalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP). Kekhawatiran ini muncul karena sejumlah pasal dalam draf RKUHAP dinilai berpotensi melemahkan kerja-kerja pemberantasan korupsi, khususnya dalam hal penyadapan dan kewenangan khusus lainnya.
Dikutip dari Kompas, ketua KPK Setyo Budiyanto menegaskan, KPK telah menggandeng koalisi masyarakat sipil untuk mengkaji secara mendalam pasal-pasal krusial dalam RKUHAP. Hasil kajian ini akan segera disampaikan kepada pemerintah dan DPR sebagai bahan pertimbangan penting sebelum RKUHAP disahkan.
“Kami antisipasi segala kemungkinan yang bisa merugikan atau mengurangi kewenangan penegakan hukum dalam pemberantasan korupsi,” ujar Setyo usai diskusi bersama koalisi masyarakat sipil di Gedung Merah Putih, Kamis (31/7/2025).Salah satu isu utama yang jadi sorotan adalah soal penyadapan. Dalam draf RKUHAP, penyadapan hanya bisa dilakukan pada tahap penyidikan dan harus mendapat izin dari pengadilan negeri di daerah. Padahal selama ini, KPK bisa menyadap sejak tahap penyelidikan tanpa izin pengadilan, cukup melapor ke Dewan Pengawas.
Dalam pertemuan tersebut, hadir sejumlah lembaga seperti Indonesia Corruption Watch (ICW), Transparency International Indonesia (TII), dan YLBHI. Mereka membahas 17 poin penting hasil kajian awal KPK. Seluruh pihak sepakat bahwa pembahasan RKUHAP ke depan harus melibatkan publik secara luas demi transparansi dan mencegah pelemahan agenda antikorupsi.
Pengajar hukum tata negara dari Universitas Andalas, Charles Simabura, menilai beberapa pasal RKUHAP justru mengancam eksistensi KPK. Ia menyoroti pasal 329 dan 330 yang menyatakan bahwa undang-undang lain hanya berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan KUHAP. Menurut Charles, ini bertentangan dengan prinsip lex specialis derogat legi generali, di mana undang-undang khusus seperti UU KPK seharusnya tetap diakui.
Sementara itu, peneliti TII, Sahel Al Habsy, menegaskan bahwa penyusunan RKUHAP tak boleh terburu-buru. Jika dipaksakan, risikonya adalah cacat hukum dan berujung pada impunitas serta pelanggaran HAM.
“Lebih baik prosesnya panjang tapi hasilnya kuat dan legitimate, daripada buru-buru tapi menimbulkan banyak korban dan kontroversi,” kata Sahel.
KPK dan masyarakat sipil sepakat, RKUHAP yang tengah disusun harus mencerminkan semangat awal pemberantasan korupsi dan tidak justru menjadi penghalang bagi penegakannya. (FG12)