Berita Jurnalkitaplus – Gelombang relokasi pabrik dari China ke Indonesia, yang dipicu oleh kebijakan tarif impor Amerika Serikat (AS) sebesar 19%, diprediksi akan meningkatkan permintaan mesin dan peralatan lokal. Fenomena ini menjadi peluang besar bagi industri manufaktur dalam negeri, khususnya di sektor mesin industri, seiring meningkatnya investasi asing di kawasan industri seperti Jababeka.
Menurut laporan Bisnis.com, kebijakan tarif AS yang dikenal sebagai “Tarif Trump” mendorong perusahaan China menerapkan strategi “China+1”, yakni merelokasi atau memperluas operasi mereka ke negara lain untuk menghindari beban tarif tinggi. Indonesia, dengan tarif impor ke AS yang relatif rendah dibandingkan negara ASEAN lain seperti Taiwan dan Vietnam (20%), menjadi destinasi menarik bagi investor. Sektor yang menjadi fokus utama relokasi ini mencakup energi, kendaraan listrik (EV), elektronik, dan logistik.
Direktur Utama PT Jababeka Tbk., Setyono Djuandi Darmono, mengungkapkan bahwa minat investasi dari perusahaan China meningkat signifikan sejak awal 2025. “Kebijakan tarif AS mempercepat strategi China+1, dan Indonesia, termasuk Jababeka, menjadi tujuan utama relokasi,” ujarnya. Jababeka sendiri tengah mengembangkan proyek kawasan industri di Cikarang, Kendal, Batang, Tanjung Lesung, dan Morotai untuk menarik investasi di sektor padat karya, kendaraan listrik, pariwisata, dan logistik.
Dampak pada Industri Mesin Lokal
Ketua Umum Gabungan Industri Pengerjaan Logam dan Mesin Indonesia (Gamma), Dadang Asikin, menyatakan bahwa eksodus ini dapat mendorong permintaan mesin lokal, terutama untuk industri pengguna seperti minyak dan gas. Namun, ia mengakui bahwa daya saing produk mesin lokal masih lemah dibandingkan produk China, yang unggul dalam harga, meskipun produk AS dan Eropa lebih tahan lama.
Negosiasi dagang antara Indonesia dan AS juga membuka peluang impor barang modal dari AS dengan tarif 0%, seperti suku cadang pesawat, mesin industri, dan bahan baku. Hal ini dapat meningkatkan produktivitas industri nasional, tetapi juga menimbulkan tantangan bagi produsen mesin lokal yang harus bersaing dengan produk impor. Bhima Yudhistira dari Center of Economics and Law Studies (Celios) menekankan perlunya perlindungan pasar domestik agar tidak dibanjiri barang jadi impor, yang dapat melemahkan industri pengolahan lokal.
Tantangan dan Rekomendasi
Meskipun peluang besar terbuka, relokasi pabrik China tidak merata di semua sektor. Misalnya, sektor tekstil menghadapi kendala birokrasi dan perizinan, yang menyebabkan mandeknya investasi dari China. Untuk memaksimalkan manfaat, Celios menyarankan pembentukan Satuan Tugas (Satgas) khusus untuk mengawal relokasi pabrik China, terutama di sektor padat karya, guna menyerap tenaga kerja lokal dan mendukung pemulihan ekonomi pasca pemutusan hubungan kerja (PHK).
Selain itu, pemerintah diminta memperbaiki iklim investasi dan menyederhanakan regulasi untuk menarik lebih banyak investor. Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) seperti di Batam juga diharapkan memanfaatkan peluang ini dengan menawarkan infrastruktur kompetitif dan konektivitas global.
Menuju Pertumbuhan Industri
Eksodus pabrik China ke Indonesia tidak hanya membawa investasi, tetapi juga potensi transfer teknologi dan peningkatan kapasitas industri lokal. Dengan strategi yang tepat, seperti penguatan daya saing mesin lokal dan perlindungan pasar domestik, Indonesia dapat memanfaatkan momentum ini untuk mempercepat pertumbuhan sektor manufaktur. Target pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 5,4% pada 2026, sebagaimana diungkapkan pelaku usaha, menuntut industri manufaktur tumbuh di atas 5%, yang dapat terwujud dengan dukungan investasi asing ini. (FG12)