Berita Jurnalkitaplus – Nepal dilanda kerusuhan besar yang dipicu kemarahan generasi muda (Gen Z) terhadap pejabat yang memamerkan kemewahan di tengah kemiskinan dan pengangguran. Protes yang awalnya damai berubah menjadi kekacauan setelah pemerintah melarang media sosial, memicu bentrokan berdarah yang menewaskan 20 orang dan melukai hampir 400 lainnya. Perdana Menteri Khadga Prasad Sharma Oli mengundurkan diri pada Selasa (9/9/2025), menandai runtuhnya pemerintahan akibat tekanan publik.
Menurut jurnalis senior Nepal, Prateek Pradhan, protes di media sosial hanya menjadi katalis. “Frustrasi terhadap pengelolaan negara telah lama membara. Warga sangat marah,” katanya kepada Associated Press, Rabu (10/9/2025). Sebanyak 43% penduduk Nepal berusia 15-40 tahun, dengan 20% di antaranya menganggur. Bank Dunia mencatat PDB per kapita Nepal hanya US$1.447 (Rp23,8 juta), dan sekitar 2.000 pemuda pergi ke luar negeri setiap hari untuk bekerja sebagai buruh harian di Timur Tengah, Asia Timur, dan Asia Tenggara.
Pemicu Protes: Kemewahan dan Korupsi
Kemarahan publik dipicu oleh gaya hidup mewah elite politik, termasuk keluarga Bahadur Deuba, Ketua DPR dari Partai Kongres Nepal (NC), dan Perdana Menteri Oli dari Partai Komunis (UML). Anak dan menantu Deuba kerap memamerkan perjalanan dengan pesawat pribadi dan pakaian mahal di media sosial, meski keluarga mereka tidak memiliki warisan harta sebelum terjun ke politik. Tagar “Nepobaby” menjadi viral sebagai bentuk protes terhadap nepotisme dan korupsi.
“Semua ini membuat anak muda Nepal tidak puas. Mereka tidak melihat pilihan selain turun ke jalan,” ujar Pradhan. Ketidakstabilan politik Nepal sejak 2008, dengan pergantian pemerintahan yang terus-menerus tanpa perubahan signifikan, semakin memperburuk situasi. Gen Z Nepal juga terinspirasi oleh perubahan pemerintahan di Bangladesh dan Sri Lanka akibat protes serupa.
Eskalasi Kekerasan dan Larangan Media Sosial
Protes dimulai secara daring setelah pemerintah Oli melarang 26 platform media sosial, termasuk Facebook, Instagram, dan X, pada Jumat (5/9/2025), dengan alasan platform tersebut tidak terdaftar di Nepal. Bagi Gen Z, media sosial bukan hanya hiburan, tetapi juga sarana belajar, bekerja, dan menyuarakan aspirasi. Larangan ini memicu demonstrasi besar pada Senin (8/9/2025) di Kathmandu dan kota-kota lain.
Aksi damai berubah ricuh ketika polisi menggunakan gas air mata, peluru karet, dan diduga peluru tajam untuk membubarkan massa. Seorang pengunjuk rasa, Nima Tendi Sherpa (19), yang tertembak di lengan, menyatakan, “Saya marah kepada yang memberi perintah. Api sudah menyala, dan kami akan terus berjuang sampai meraih kebebasan.” Kekerasan polisi menewaskan 20 orang dan melukai hampir 400 lainnya, memicu amuk massa yang membakar rumah pejabat, termasuk kediaman Oli dan gedung parlemen.
Militer Turun Tangan
Sejak Selasa malam (9/9/2025), militer Nepal mengambil alih keamanan, memberlakukan larangan berkumpul dan jam malam. Tentara dengan panser dan senjata terlihat di jalan-jalan Kathmandu pada Rabu, memperingatkan sanksi keras terhadap penjarahan dan perusakan. Banyak elite politik melarikan diri atau bersembunyi dari amukan massa.
Krisis Kepercayaan dan Masa Depan Nepal
Kerusuhan ini mencerminkan krisis kepercayaan mendalam antara rakyat dan pemerintah, yang diperparah oleh korupsi, nepotisme, dan ketimpangan ekonomi. Meski Oli telah mundur, belum jelas apakah langkah ini dapat meredakan situasi. Gen Z Nepal menuntut perubahan sistemik, termasuk transparansi, akuntabilitas, dan keadilan sosial, sebagaimana disuarakan dalam protes di media sosial dan jalanan. (FG12)