Berita JURNALKITAPLUS – Di negeri yang rajin mengoleksi surat keterangan seperti kita mengoleksi kupon diskon, muncul seorang advokat yang berani mempertanyakan kertas paling sakral dalam biografi pejabat: ijazah.
Namanya Subhan Palal sosok yang seolah berkata, “Kalau sistem pendidikan kita adalah panggung besar, jangan biarkan ijazah pejabat jadi properti teater yang cuma tempelan.
”Subhan Palal bukan muncul dari laboratorium konspirasi. Ia lahir dan tumbuh di Indonesia, menempuh jalur hukum di Universitas Indonesia, meraih gelar Sarjana Hukum lalu Magister Hukum.
Ia tahu betul betapa tebalnya buku Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional dan betapa tipisnya kesabaran publik ketika melihat pejabat yang seolah “dapat jalur cepat” dalam hal legalitas dokumen.
Dari kantor hukumnya yang sederhana di Jakarta Barat, Subhan Palal & Rekan, ia lebih sering memelihara kasus “berduri” ketimbang kasus “aman dan gemuk honor”. Sampai pada satu hari, ia mengajukan gugatan senilai Rp125 triliun terhadap Wapres Gibran Rakabuming Raka dan KPU.
Gugatan itu ibarat melempar bola bowling ke meja pingpong politik: dentumannya langsung terdengar di media sosial, talk show, dan grup WhatsApp keluarga.
Bagi Subhan, angka Rp125 triliun bukan sekadar angka. Itu semacam metafora satir:
“Kalau legalitas pejabat dinilai enteng, rakyat juga berhak menagih beratnya kerugian moral.” Gugatan itu membuatnya tampak seperti Don Quixote zaman hukum digital: menyerbu angin politik dengan tombak pasal-pasal, sementara netizen bersorak antara kagum dan sinis.
Di sepanjang jalannya, muncul nama-nama lain: dr. Tifa dengan presentasi tajamnya soal ijazah; Roy Suryo, pakar telematika yang mengendus jejak digital dokumen pendidikan; Rismon Sianipar, analis forensik yang memeriksa surat keterangan seperti detektif memeriksa sidik jari.
Publik pun penasaran: apakah mereka “satu barisan”? Faktanya, sejauh yang bisa diverifikasi, mereka bukan “tim resmi” Subhan. Lebih tepat disebut “sekumpulan orbit” yang kebetulan bertemu di lintasan isu yang sama — transparansi dokumen pejabat publik.
Metafora segarnya begini: kalau negara ini adalah rumah makan besar, maka rakyat adalah pelanggan yang harus percaya bahwa lauk yang disajikan benar-benar daging, bukan tepung berwarna.
Subhan datang bukan sebagai chef, tapi sebagai inspektur mendadak yang mengangkat tutup panci. Dr. Tifa membawa termometer, Roy Suryo membawa CCTV, Rismon Sianipar membawa kaca pembesar. Mereka tidak selalu duduk semeja, tapi mereka sama-sama menoleh ke dapur.
Di luar headline, Subhan tetap manusia biasa: bangun pagi, menyeduh kopi hitam, membaca berita, mungkin tersenyum kecut melihat meme “Pak Subhan Penggugat Rp125 T” yang beredar di Instagram. Ia sadar, mungkin gugatannya kalah di pengadilan.
Tapi setidaknya ia sudah meletakkan cermin besar di tengah ruang sidang, memantulkan pertanyaan yang jarang diucapkan keras-keras: “Kita ini negara hukum, kan? Bukan negara keterangan?”
Di tengah kritik dan tawa, ada harapan yang tak boleh dilupakan: bahwa kelak sistem pendidikan dan hukum kita tak lagi jadi panggung kabaret, bahwa ijazah pejabat bisa diverifikasi seperti kita mengecek saldo e-wallet, bahwa rakyat tak lagi bingung antara dokumen asli dan rekayasa.
Subhan Palal, dengan toga advokat dan humor satirnya, kini menjadi semacam simbol kecil keberanian: mengingatkan bahwa demokrasi bukan hanya tentang memilih pejabat, tapi juga berhak memeriksa ijazahnya.
Dan di negeri yang sering lebih sibuk menghitung likes ketimbang membaca pasal, keberanian itu terasa seperti udara segar. (AR11)
Sumber : Komunitas Bisa Menulis