Berita Jurnalkitaplus – Tim ekonomi pemerintahan Prabowo yang telah bekerja selama hampir 11 bulan sejak pelantikan pada 20 Oktober 2024, kini menghadapi sorotan tajam atas strategi pembiayaan alternatif untuk mendukung program prioritas nasional. Di tengah upaya memenuhi janji kampanye seperti Asta Cita, pemerintah mengandalkan skema burden sharing dengan Bank Indonesia (BI) serta penerbitan obligasi ritel Patriot Bond melalui sovereign wealth fund Danantara. Namun, langkah ini dinilai berpotensi menjadi “bom waktu” yang mengancam stabilitas ekonomi jangka panjang, dengan risiko inflasi dan gangguan independensi bank sentral.
Dalam rapat kerja Komisi IV Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang digelar secara daring pada Selasa (2/9/2025), Gubernur BI Perry Warjiyo dan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan bahwa BI telah membeli Surat Berharga Negara (SBN) senilai Rp 200 triliun melalui mekanisme burden sharing dengan Kementerian Keuangan. Skema ini, yang sebelumnya diterapkan saat pandemi Covid-19, bertujuan meringankan beban fiskal negara dengan membagi tanggung jawab pembiayaan antara pemerintah dan bank sentral. Dana hasil pembelian SBN tersebut dialokasikan untuk program prioritas, termasuk perumahan rakyat dan Koperasi Desa Merah Putih, dengan pembagian beban efektif masing-masing pihak sebesar 2,9 persen untuk perumahan dan 2,15 persen untuk koperasi. Formula burden sharing dihitung dari bunga SBN 10 tahun dikurangi hasil penempatan pemerintah di perbankan, dengan sisa bunga dibagi dua.
Meski diakui sebagai upaya mendukung ekonomi kerakyatan, skema ini menuai kritik keras dari kalangan ekonom. Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef), M. Fadhil Hasan, menyamakan burden sharing dengan praktik “mencetak uang” (printing money), karena berpotensi meningkatkan jumlah uang beredar dan memicu inflasi. Ia menekankan bahwa pendekatan ini hanya dibenarkan untuk proyek jangka pendek yang menghasilkan return di atas cost of fund, bukan untuk menutup defisit anggaran atau proyek jangka menengah-panjang. “Kita punya pengalaman di masa Orde Lama, BI mencetak uang dan hasilnya adalah inflasi hingga 650 persen, yang berakhir dengan bencana ekonomi,” ujar Fadhil dalam wawancara pada Rabu (3/9/2025).
BI sendiri membantah tudingan tersebut, menegaskan bahwa burden sharing dilakukan tanpa mencetak uang baru, melainkan melalui pemberian tambahan bunga pada rekening pemerintah di BI. Gubernur Perry Warjiyo menjelaskan langkah ini diambil secara hati-hati untuk mengurangi beban pembiayaan program-program prioritas Presiden Prabowo, tanpa mengganggu independensi BI. Namun, Komisi XI DPR menyatakan belum menerima penjelasan resmi mengenai kesepakatan ini, menimbulkan kekhawatiran atas transparansi proses.
Selain burden sharing, pemerintah juga mengandalkan Patriot Bond Danantara sebagai instrumen pembiayaan alternatif. Sovereign wealth fund Danantara berencana menerbitkan obligasi senilai Rp 50 triliun (sekitar US$3,1 miliar) dengan yield rendah 2 persen untuk periode 5-10 tahun, ditargetkan kepada investor “patriotik” seperti perusahaan swasta dan konglomerat. Obligasi ini dimaksudkan untuk mendanai proyek strategis seperti transisi energi, meski para ahli memperingatkan dampak negatif jika tidak dikelola dengan baik. Beberapa pengusaha lokal telah menyatakan minat, tetapi kritik muncul atas pendekatan “patriotisme” yang dianggap memaksa, mengingat yield di bawah pasar.
Secara keseluruhan, strategi ini mencerminkan ambisi pemerintahan Prabowo untuk mempercepat pembangunan, namun tanpa situasi darurat seperti pandemi, risiko gangguan stabilitas moneter semakin nyata. Ekonom memperingatkan agar BI tetap fokus pada kebijakan moneter, seperti penyesuaian BI-Rate, daripada terlibat dalam pembiayaan fiskal. Apakah ini akan menjadi katalisator pertumbuhan atau justru bencana seperti era Orde Lama? Waktu akan menjawab, tapi pengawasan ketat dari DPR dan masyarakat sipil menjadi kunci untuk mencegah eskalasi risiko. (FG12)