7urnalkita+ Gerakan Rereongan Sapoe Sarebu yang digagas Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi terus menjadi sorotan dari berbagai kalangan. Hal ini tidak terlepas dari Gerakan tersebut yang tidak mengantongi izin resmi dari Kementerian Sosial sebagai ketentuan dalam penggalangan dana sosial. Apalagi Gerakan tersebut ditujukan kepada Bupati/Walikota se Jawa Barat, Perangkat daerah di provinsi Jawa Barat, Kanwil Kementerian Agama Jawa Barat.
Pengajar Hukum Tata Negara Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Giri Ahmad Taufik menilai, secara prinsip, pungutan yang dilakukan pemerintah daerah hanya diperbolehkan dalam dua bentuk, yaitu pajak daerah dan retribusi daerah. Kedua hal tersebut diatur secara tegas dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.
“Di luar itu, tidak ada bentuk pungutan lain yang diperbolehkan. Jika pemerintah daerah memungut dana tanpa dasar hukum, apalagi mengatasnamakan sumbangan sukarela, tetap bisa dikategorikan melanggar hukum,” ujarnya di Bandung, Senin 6 Oktober 2025.
Menurut Giri, persoalan utama dari inisiatif Gubernur Jabar ini tidak hanya terletak pada absennya dasar hukum, tetapi juga pada tata kelola keuangan yang tidak jelas. “Dana itu dikumpulkan ke mana, peruntukannya bagaimana, dan siapa yang mengawasi. Dalam sistem keuangan negara, dana di luar anggaran pemerintah atau nonbujeter tidak diperbolehkan,” tuturnya.
Ia menyarankan agar Gubernur Jabar memanfaatkan skema pendanaan lain yang sah, seperti dana Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) atau tanggung jawab sosial perusahaan (CSR), jika memang ingin mendukung program bantuan darurat bagi masyarakat. “Kalau dipaksakan, kebijakan ini bisa dipandang sebagai tindak pidana korupsi karena melakukan pungutan tanpa dasar hukum. Hal itu diatur dalam Pasal 12 UU Tipikor juncto Pasal 425 KUHP,” ujarnya.
Giri juga mengingatkan agar Pemerintah Provinsi Jawa Barat tidak menggunakan dalih Pasal 75 Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2012 untuk melegalkan pungutan tersebut. Menurutnya, dalam regulasi turunan seperti Permensos Nomor 8 Tahun 2021, gubernur hanya berperan memberikan izin kepada ormas atau lembaga kesejahteraan sosial yang ingin melakukan penggalangan dana, bukan sebagai pihak yang memungut langsung.
“Saya rasa SE itu sebaiknya dicabut karena cacat hukum. Kalau gubernur tetap bersikeras menjalankan kebijakan ini, saya mendorong DPRD untuk menggunakan hak interpelasi. Ini sudah kesekian kalinya Gubernur Dedi membuat kebijakan kontroversial, dan sudah saatnya ditertibkan,” katanya.
Bisa Ladang Baru Praktek Korupsi
Pengamat Kebijakan Publik dari Universitas Katolik Parahyangan (Unpar), Kristian Widya Wicaksono menilai, pemprov Jabaar seharusnya fokus pada optimalisasi sumber daya yang sudah ada dari pajak dan retribusi, bukan malah menciptakan pungutan anyar.
“Mestinya solusi yang ditawarkan adalah inovasi program. Yang secara esensial perlu didorong adalah meningkatkan kemampuan pengelola sektor publik dalam berinovasi,” ujar Kristian, kemarin.
Kristian tidak menampik adanya niat baik untuk membangkitkan semangat kekeluargaan di balik gerakan Poe Ibu. Namun, ia mewanti-wanti agar pemerintah tidak gegabah.
Lebih jauh, Kristian menyoroti potensi bahaya yang mengintai di balik pengumpulan dana publik dalam skala besar. Tanpa mekanisme pengawasan yang ketat dan transparan, gerakan ini bisa menjadi ladang baru bagi praktik korupsi. “Melihat potensi ekonominya yang sangat besar, harus dipersiapkan dengan matang tata kelola yang bersih dan akuntabel agar dapat dipertanggungjawabkan dengan baik. Jangan sampai menjadi celah baru untuk korupsi,” katanya.
Karena sifatnya hanya imbauan, Kristian menegaskan, masyarakat memiliki hak penuh untuk tidak berpartisipasi. Warga, bisa mengambil sikap menunggu dan melihat sejauh mana program ini benar-benar memberikan dampak nyata bagi kesejahteraan.
“Masyarakat berhak memutuskan untuk menunda partisipasinya, sambil menunggu sejauh mana manfaat program memang mendatangkan dampak terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat secara berkesinambungan,” katanya.
Sumber : Pikiran Rakyat