Satu Kerjaan Nggak Cukup, Gen Z Kini Doyan Polyworking Biar Dompet Nggak Tipis

Warung kopi sore itu ramai. Ada yang curhat ditinggal doi nikah, ada juga yang lagi ngeluh soal gaji pas-pasan padahal kerjaan numpuk kayak cucian kotor habis Lebaran. Tapi ada satu topik yang bikin semua kepala ngangguk: susah cari kerja dan makin banyak anak muda banting setir jadi ‘polyworker’.

“Eh, lu sekarang kerja di mana?”
“Gue? Ya di mana-mana!”

Begitulah kira-kira jawaban Gen Z zaman sekarang. Gak cuma kerja kantoran, tapi juga nyambi jadi penulis, ojek online, jualan skincare, sampe ngajar Zumba. Bukan karena gaya-gayaan, tapi emang hidup makin berat dan satu kerjaan doang gak cukup buat ngisi dompet.

Menurut survei dari Capital One di Kanada, 36% Gen Z udah punya kerjaan sampingan, dan 45% lainnya kepikiran buat nyari tambahan. Dan lucunya, lebih dari 70% alasannya ya klasik: duit kurang, Bro! Bukan soal passion, tapi kebutuhan.

Ambil contoh Gianluca Russo, anak muda dari Arizona, AS. Dia kerja di LinkedIn, tapi juga jadi pelatih sepeda, koreografer, penulis lepas, dan pengarang. Banyak? Banget! Tapi katanya, “Gue cuma ambil kerjaan yang gue suka.” Lah, kita? Kadang makan aja nunggu diskon ojol.

Di Singapura, ada Germaine (25 tahun). Kerja penuh waktu di dua perusahaan, tapi masih sempat kuliah juga. Capek? Jelas. Tapi gimana lagi, kuliah bayar sendiri, hidup juga harus lanjut.

Sekarang, ini bukan cuma soal cari uang lebih. Ada juga yang ngejar fleksibilitas, pengembangan skill, dan memperluas koneksi. Tapi jangan salah, efek sampingnya juga ada. Survei bilang, 26% orang yang polyworking hubungannya sama orang sekitar jadi renggang. Belum lagi waktu buat hobi atau healing jadi makin tipis.

Buat anak muda sekarang, polyworking bukan tren, tapi survival mode. Pasar kerja gak stabil, ekonomi naik turun kayak roller coaster, dan harga makan siang makin gak masuk akal. Mau gak mau, kerjaan harus dobel, bahkan triple.

Jadi, kalo lo liat temen lo sibuk banget kerja sana-sini, jangan bilang “Sok sibuk, lu!” Tapi peluk aja dia, sambil bisikin, “Lanjutkan, Pejuang Rupiah!”

Tapi bro, kalo di simak sih, yang melatarbelakangi fenomena polyworking di kalangan Gen Z bisa diringkas menjadi beberapa faktor utama, baik dari sisi ekonomi, sosial, maupun psikologis. Berikut penjelasannya:

1. Desakan Ekonomi & Biaya Hidup yang Tinggi

  • Harga kebutuhan pokok, pendidikan, tempat tinggal, dan gaya hidup semakin mahal.
  • Gaji dari satu pekerjaan sering kali tidak mencukupi kebutuhan, apalagi di kota besar.
  • Banyak Gen Z yang harus membayar cicilan, biaya kuliah, hingga menanggung keluarga.

“Satu gaji, dua lapar.” — pepatah Gen Z masa kini.

2. Pasar Kerja yang Tak Stabil

  • Lowongan pekerjaan makin sedikit, tapi lulusan makin banyak.
  • Banyak perusahaan lebih suka kontrak pendek atau freelance daripada pekerja tetap.
  • Risiko PHK dan otomatisasi (AI/robot) bikin masa depan kerja makin gak pasti.

“Hari ini kerja, besok belum tentu.”

3. Tidak Ada Jaminan dari Satu Pekerjaan

  • Dulu, satu pekerjaan bisa diandalkan seumur hidup. Sekarang? Bisa ilang dalam semalam.
  • Gen Z melihat banyak contoh pekerja senior yang kena PHK massal, bahkan dari sektor “aman”.

4. Keinginan Mengeksplorasi Diri dan Karier

  • Banyak Gen Z tidak ingin terkungkung di satu bidang.
  • Mereka ingin belajar banyak hal, mencoba berbagai profesi, dan menemukan potensi diri yang lain.

“Siapa tahu passion-nya bukan di kerjaan sekarang.”

5. Fleksibilitas Waktu & Teknologi

  • Dunia digital memungkinkan orang kerja dari mana saja dan kapan saja.
  • Gen Z lebih cepat adaptasi dengan kerja online, freelance, remote, jadi bisa ambil kerjaan lebih dari satu.

“Bisa ngerjain 3 kerjaan sambil ngopi di kafe — kenapa enggak?”

6. Kebutuhan Akan Rasa Aman & Kontrol Hidup

  • Dengan punya beberapa sumber penghasilan, mereka merasa lebih aman dan mandiri.
  • Kalau satu kerjaan lepas, masih ada yang lain buat bertahan hidup.

“Jangan taruh semua telur di satu keranjang, katanya…”

7. Sisi Psikologis: Ingin Produktif dan Diakui

  • Gen Z tumbuh di era medsos, di mana pencapaian sering dipamerkan.
  • Banyak yang merasa harus terus produktif agar dianggap “bernilai” oleh lingkungan sosial.

“Kerja banyak biar gak ngerasa useless dan ‘kalah start’.” – (FG12)

Referensi Kompas

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *