27 Tahun Reformasi, Bagaimana Kualitas Demokrasi Kita?

Berita Jurnalkitaplus — Genap 27 tahun sudah perjalanan reformasi bergulir sejak 1998, menjanjikan era baru kehidupan demokrasi di Indonesia. Namun, di tengah peringatan hari bersejarah ini, tanda tanya besar kembali mencuat: bagaimana kualitas demokrasi kita hari ini?

Reformasi yang dulu disambut dengan semangat perubahan membawa sejumlah tonggak penting, salah satunya adalah dibukanya ruang kebebasan berpendapat dan berserikat. Masyarakat mulai leluasa menyuarakan pandangan dan mendirikan berbagai organisasi, termasuk partai politik. Namun, setelah lebih dari dua dekade, suasana kebebasan itu dinilai sebagian pihak semakin menyempit.

Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, mengungkapkan bahwa ruang kebebasan sipil kini kian tergerus. “Padahal, teknologi digital semestinya membuka ruang ekspresi lebih luas. Tapi realitanya, teknologi juga dipakai untuk mengawasi dan membungkam suara-suara kritis,” kata Usman di Jakarta, Selasa (20/5).

Salah satu contoh terbaru adalah penangkapan mahasiswi Institut Teknologi Bandung (ITB) berinisial SSS oleh Bareskrim Polri pada 6 Mei 2025. Ia ditangkap karena membuat meme yang menampilkan sosok mirip Presiden Prabowo Subianto dan Presiden ke-7 RI Joko Widodo. Meski penahanannya ditangguhkan pada 11 Mei 2025, status tersangka masih melekat padanya.

“Gejala seperti ini jelas menunjukkan kemunduran demokrasi di tingkat negara. Tapi bukan berarti semangat reformasi benar-benar padam,” ujar Usman.

Faktanya, unjuk rasa dari berbagai elemen masyarakat masih terus berlangsung. Aksi-aksi seperti Kamisan tetap digelar sebagai bentuk perlawanan simbolik terhadap berbagai ketimpangan dan pelanggaran hak asasi manusia.

Usman menegaskan, semangat reformasi kini memang memudar dalam diskursus elite politik, tapi tetap bergelora di kalangan masyarakat sipil. Oleh sebab itu, menurutnya, publik tidak bisa hanya mengandalkan elite untuk menjaga semangat reformasi. Keterlibatan masyarakat akar rumput sangat penting dalam memastikan agenda reformasi tetap hidup.

Lebih jauh, kemunduran demokrasi Indonesia juga tercermin dari penurunan skor indeks demokrasi yang dirilis The Economist Intelligence Unit (EIU). Pada 2015, skor indeks demokrasi Indonesia berada di angka 7,03. Namun, angkanya terus merosot menjadi 6,97 (2016), 6,39 (2017 dan 2018), lalu sedikit naik ke 6,48 (2019), sebelum kembali turun ke 6,30 pada 2020.

Meski sempat mengalami peningkatan pada 2021 dan 2022 dengan skor 6,71, tren tersebut kembali menurun dalam dua tahun terakhir. Ini menjadi sinyal bahwa demokrasi Indonesia belum benar-benar stabil dan masih menghadapi tantangan serius.

“Esensi reformasi adalah partisipasi publik dalam menentukan arah bangsa. Suara-suara kritis dari masyarakat adalah denyut hidup reformasi. Itu yang harus terus dijaga,” tutup Usman. (FG12)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *